Kala Tenun Adat Berubah Wujud Jadi Busana Muslim

shares


JakartaCNN Indonesia -- Kain tenun yang biasa dipakai untuk acara adat, kini menjelma dalam busana yang dapat dikenakan pada kegiatan sehari-hari. Corak tenun tampil elegan berpadu dengan kain yang ringan agar mudah digunakan.

Busana itu telihat dalam pagelaran Tenoen Etnik di Indonesia Fashion Week 2017. Sebanyak enam desainer menunjukkan kelihaian mereka mengolah kain tradisional dalam wujud busana muslim, kemarin (1/2) sore. Masing-masing membawa 16 karya.

Jenahara, Ida Royani, Torang Sitorus, dan Jeny Tjahyawati menampilkan kreasi kain tenun ulos dari tanah Batak. Sementara Anne Rufaidah menggunakan kain tenun dari Nusa Tenggara Timur yang dipadankan dengan tenun Tana Toraja dan Nieta Hidayani dengan tenun dari Sulawesi Tengah.

Dalam koleksi etnik ini, Jenahara memilih mengolah ulos. Ulos asli yang berat ini dipadukan dengan kain yang lebih ringan untuk mendapatkan kesan yang lebih flowy. Dia terinspirasi dari kekuatan seorang wanita yang memiliki keberanian, prinsip yang kuat dan jiwa kepemimpinan.

Inspirasi itu dituangkan pada warna dominan hitam di kain ulos yang menunjukkan kekuatan dan keberanian. Motif dari kain ulos juga menggambarkan ketegasan.

Koleksi dengan nama Hinauli atau keindahan dalam bahasa Batak itu, menggunakan warna dominan hitam dan merah maroon.

Jena mengolah ulos dengan cutting baju yang edgy, simple, dan minimalis. Gaya busana yang ditampilkan sesuai dengan garis rancangnya selama ini.

Jena melengkapi karyanya dengan detail berupa pleats dan penggunaan eyeled dengan potongan yang asimetris serta teknik drapping pada beberapa karyanya.

Ini merupakan kali pertama, Jena mengolah ulos dalam koleksinya. Jena pun belum berencana memasarkan rancangannya secara retail karena harga kain ulos yang mahal. Sehelai tenun ulos asli bisa dihargai Rp3 juta hingga Rp5 juta.

"Ini baru untuk show saja. Karena pembuatannya enggak murah, belum kebayang dijual berapa karena ini tenun asli. Kalau untuk produksi besar mungkin nanti pakai tenun print," kata Jena saat ditemui usai pertunjukan.


Tenun dari Timur



Mengolah ulos, menurut Jena, berbeda dengan kain polos. Jena mengaku lebih berhati-hati dalam memotong kain ulos agar tetap memiliki nilai seni yang tinggi dan tidak menghilangkan arti dari kain itu.

Berbeda dengan sang anak, Ida Royani, ibu Jena itu membagi tema busana dari dua kain ulos yang berbeda, yaitu Ulos Pinuncaan dan Sadum. Ida memadukan ulos dengan pilihan warna hitam, putih, ungu, dan pink tua.

Dalam koleksinya, baik berupa dress atau atasan dan bawahan, Ida menempatkan kain ulos hanya pada satu bagian saja. Jika atasan sudah memakai ulos, bawahan akan menggunakan kain polos, pun sebaliknya.

Melengkapi busana itu, Ida menambahkan selendang dengan tenun ulos. Tak hanya itu, dia juga mengaplikasikan ulos pada tas dan sepatu.

Jika Jena dan Ida menampilkan ulos dalam bentuk pakaian minimalis, lain lagi dengan Torang Sitorus. Pengusaha tekstil asal Medan ini merancang kain ulos yang ditenun sejak tiga bulan lalu itu dengan lebih kompleks. Torang bahkan mengubah tudung yang biasa digunakan wanita Batak menjadi hijab.

Torang membuat 15 koleksi busana muslimnya bertemakan The Passamot. Yaitu, bentuk tribut pada kesederhaan dan kesakralan budaya, warna dan tekstil Batak. Dia terinspirasi dari adat perkawinan Batak saat orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos Passamot kepada orang tua pengantin laki-laki.

Melalui karyanya ini, Torang berharap agar ulos tak hanya berputar pada ritual adat saja, namun masuk dalam kehidupan sehari-hari.

"Kalau hanya berputar di adat kapan majunya? Sehingga kami mulai angkat dan gali terus menjadi baju siap pakai," tutur Torang.

Adapun Jeny Tjahyawati mengolah Ulos Radigub --jenis ulos dengan derajat tertinggi dari Batak Toba-- dengan teknik origami asal Jepang.

Ulos dan teknik origami itu dirancang dengan gaya feminin elegan dengan siluet H-Line. Jeny menggunakan origami pada detail hiasan busananya. Teknik itu bertujuan untuk menampilkan efek tiga dimensi, sehingga memberikan kesan hidup. Hal ini sesuai dengan Ulos Ragidup yang berarti lambang kehidupan.

Dalam karyanya, Jeny memilih warna terang seperti putih gading untuk dipadukan dengan ulos.


Kain tenun berwarna cerah dari Nusa Tenggara Timur dan Toraja, Sulawesi Selatan menarik perhatian Anne Rufaidah. Dua daerah itu dipilih karena memiliki warna yang senada dari dua kain-kain itu.

Anne menggunakan kain tenun dengan pewarna sintetis karena harga yang lebih murah dibandingkan kain dengan pewarna alami. Warna itu di antaranya, orange, merah, kuning, biru, dan ungu.

"Warna-warna cerah sangat cocok untuk pasar Indonesia. Bagus untuk anak muda dan dewasa, apalagi ibu-ibu, tentunya suka," tutur Anne.

Anne memodifikasi ulos menjadi atasan berupa rompi dan jubah. Dia juga mengolah ulos menjadi dress yang dipadukan dengan bahan satin.

Tenun Donggala khas Sulawesi Tengah tak ingin ketinggalan unjuk gigi. Melalui karya Nieta Handayani, tenun Donggala tampil dengan warna-warna lembut seperti abu-abu muda, pink muda, dan ungu muda serta motif bunga mawar, anyelir, dan subi. Tenun itu dipadukan dengan bahan organdi sutra dan mikado untuk menampilkan kesan elegan dan anggun.

Nieta terinpirasi dengan kecantikan Donggala, oleh karena itu dia mengusung tema Nagata Donggala atau kecantikan Donggala.

Menurut Nieta, tenun Donggala memiliki gaya yang unik dan langka karena ada sejak 200 tahun yang lalu. Tenun ini juga tidak mendiskriminasi para pemakainya. Ia bisa digunakan semua kalangan, tua atau muda, perempuan dan laki-laki.

Melalui busananya, Nieta mengaku ingin mempromosikan tenun Sulawesi yang belum banyak dikenal masyarakat saat ini


sumber : www.cnnindonesia.com

Related Posts

0 komentar:

Posting Komentar